Jumat, 08 November 2019

BUDAYA : Mengenal Adat Siri’ na Pacce (Bugis - Makassar)


Dalam hubungan dengan pandangan masyarakat, setiap pemegang kendali kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, khususnya Bugis Makassar senantiasa berusaha untuk menjadi panutan, bergiat mengayomi rakyatnya, dan menghindari melakukan pelanggaran dan perbuatan tercela, karena diyakini pasti akan mendatangkan bencana dan penderitaan rakyat. Dalam kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan berpedoman pada prinsip: “jangan membiarkan yang jelek bercampur dengan yang baik”, oleh karena itu semua yang jelek harus disingkirkan. Prinsip ini yang mendasari nilai budaya masyarakat yang dinyatakan dengan konsep siri’ na pacce.

Siri’ secara harafiah menunjuk pada rasa malu tidak melakukan hal yang mengagungkan derajat kemanusiaan, yang secara kultural, menunjuk pada tanggungjawab moral untuk melindungi keserasian sosial agar alam tidak menghukum dengan berbagai bencana. Tanggungjawab untuk melindungi masyarakat dari malapetaka itu dikategorikan dalam tiga golongan, yaitu :
  • Pertama adalah siri' tanggungjawab negara atau kerajaan yang disebut siri’ butta (siri’ kerajaan). Kewenangan penyelesaiannya diembankan kepada pemegang kendali politik kerajaan.
  • Kedua adalah siri’ keluarga (siri’ akalabineng). Merupakan tanggungjawab kaum keluarga yang terpaut pada kesatuan siri (masse'di siri').
  • Ketiga adalah siri' pribadi. Ini adalah tanggungjawab pribadi, dan bukan keluarga. Karena itu bila ada seorang anak yang ditampar, maka ia akan bergiat menumbuhkan kekuatan untuk dapat membunuh sang penampar, apabila pelaku itu tidak memohon maaf atas kesalahannya.


Pertanyaan yang dapat diajukan adalah mengapa semua itu harus berakhir dengan tindakan membunuh pelaku pelanggaran?

Dari sisi budaya, orang yang melakukan pelanggaran terhadap tatanan sosial-budaya merupakan makluk yang telah kehilangan sisi kemanusiaannya, sehingga dipandang telah menjadi sejenis hewan yang secara kultural dikategorikan menjadi anjing (kongkong  atau asu). Sehingga yang dibunuh bukan manusia, tetapi anjing untuk memulihkan pelanggaran tatanan sosial.

Itulah sebabnya diingatkan untuk tidak membiarkan yang jelek bercampur dengan yang baik. Bahkan dalam pesan budaya diungkapkan: “bunyi mewujudkan kata, kata mewujudkan perbuatan, perbuatan mewujudkan manusia”

Di samping konsep siri', tedapat juga tautannya pada konsep pesse. Menurut arti leksikalnya, pesse itu adalah rasa pedih. Bahwa pesse merupakan pendorong untuk membangkitkan rasa solidaritas yang kokoh di kalangan orang Sulawesi Selatan dan sesama manusia. Ungkapan itu mendasari perilaku mereka yang rela berkorban jiwa dan raga untuk membantu orang yang diperlakukan tidak adil, di mana mereka jumpai.

Petuah  seorang cendekiawan terkenal yang menjabat sebagai mangkubumi (tumabicara butta) Kerajaan Makassar, yaitu Karaeng Patingaloang yang berpesan: “ingat dua hal dan lupakan dua hal: ingat kesalahan anda pada orang lain dan kebaikan orang lain kepasa anda; lupakan kesalahan orang lain kepada anda dan kebaikan anda kepada orang lain”. Ungkapan ini menunjukan bahwa ia mengajarkan sikap ketulusan hati, sikap suka memaafkan, dan bersikap adil kepada sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar